Tuesday, May 15, 2012

Kaca yang Berdebu by Maidany

Ia ibarat kaca yang berdebu
Jangan terlalu keras membersihkannya
Nanti ia mudah retak dan pecah
Ia ibarat kaca yang berdebu
Jangan terlalu lembut membersihkannya
Nanti ia mudah keruh dan ternoda

Ia bagai permata keindahan
Sentuhlah hatinya dengan kelembutan
Ia sehalus sutera di awan
Jagalah hatinya dengan kesabaran

Lemah-lembutlah kepadanya
Namun jangan terlalu memanjakannya
Tegurlah bila ia tersalah
Namun janganlah lukai hatinya

Bersabarlah bila menghadapinya
Terimalah ia dengan keikhlasan
Karena ia kaca yang berdebu
Semoga kau temukan dirinya
Bercahayakan iman

http://gudanglagu.com/m/maidany/maidany-kaca-yang-berdebu/

Jangan Jatuh Cinta by Maidany

Di sini pernah ada rasa simpati
Di sini pernah ada rasa menggagumi
Rasa ingin memiliki
Memasukkanmu ke dalam hati ini
Menjadi penghuni…
Mencoba berlindung di balik fitrahnya hati
Untuk mencari pembenaran diri…
Namun Ternyata semua hanya permainan nafsu
Untuk memburu cinta yang semu
Aku Tertipu…
Tuhanku berikanku cinta yang Kau titipkan
Bukan cinta yang ku tanam 2 x
Aku ingin rasa cinta ini
Masih menjadi cinta perawan
Cinta yang hanya aku berikan
Saat ijab qabul telah tertunaikan 2 x
Tuhanku berikanku cinta yang Kau titipkan
Bukan cinta yang ku tanam 5 x

Tuesday, April 10, 2012

Menunggu Di Sayup Rindu by Maidany

ooo… burungpun bernyanyi
melepas sgala rindu
yang terendam malu
di balik qolbu
ooo…anginpun menari
mencari arti
apakah ini fitrah
ataukah hiasan nafsu
didalam sepi ia selalu hadir
didalam sendiri ia selalu menyindir
kadang meronta bersama air mata
seolah tak kuasa menahan duka
biarlah semua mengalir
berikanlah kepada ikhtiar dan sabar
untuk mengejar…
sabarlah menunggu
janji ALLAh kan pasti
hadir tuk mdatang
menjemput hatimu
sabarlah menanti
usahlah ragu
kekasihkan datang sesuai
dengan iman di hati
bila di dunia ia tiada
moga di syrga ia telah menanti
bila di dunia ia tiada
moga di syurga ia telah menunggu

http://gudanglagu.com/m/maidany/maidany-menunggu-di-sayup-rindu/

Wednesday, March 7, 2012

Kisah Cinta Ali - Fatimah

Kisah ini diambil dari buku Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A.Fillah
chapter aslinya berjudul “Mencintai sejantan ‘Ali”

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.

Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.


”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.


Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.


Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.


Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.


’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.


”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.


Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.


’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”


Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.


’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.

Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.


Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.


Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?


”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ”


”Aku?”, tanyanya tak yakin.


”Ya. Engkau wahai saudaraku!”


”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”


”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”


’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.


”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”
Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.

Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”


”Entahlah..”


”Apa maksudmu?”


”Menurut kalian apakah
 ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”

”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,


”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!
 Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.


Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
 

’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ”


‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”


Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”


Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus
 Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”

Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:


“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab
 Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4). 

*re-post dari note seorang sahabat...

Wednesday, February 8, 2012

ku titipkan cintaku pada sang khaliq

Sejujurnya diri ini tak pernah jera untuk mencintaimu
Sesungguhnya cinta ini selalu memaafkan
Meski perih dan luka serta kekecewaan yg sering kau beri..
Rasa ini masih tetap sama seperti yg dulu
Rasa ini belum berubah sedikitkpun
Hingga kini aku tersadar, bahwa sudah sekian lama hati,fkiran bahkan waktu ku habis hanya untuk berfantasi tentangmu.
Aku sadar cintaku padamu mlampaui batas kewajaran hingga aku meminta kepada Rabb ku agar membuang rasa ini..
Biarkan hati ini kosong dari cinta yg semu, biarkan cinta ini q titipkan kepada Rabb ku.
Karna ku yakin pilihan Rabbku adalah pilihan yg terbaik.
Pergilah kasih kejar semua keinginanmu
Usah kau menoleh pada q
Aku bisa memahami mgapa kau  memilih pergi dariku
Kejar asa dan citamu yg sempat tertunda karna ku
Aku berdoa dimanapun engkau berada semoga Allah selalu memberi kebahagiaan meski tanpa q disisimu,
Siapapun wanita yg mendampingimu nanti. ku yakin dia adalah wanita yang sangat bahagia didunia ini. Meskupun ia bukanlah aku, aku turut bersuka cita akan kebahagiaanmu. Karna bahagiamu adalah bahagiaku...
Kurelekan kau pergi karna ku percaya pada pilihan Rabb q,
Dan q berdoa siapapun yg akan mendampingi ku kelak
Semoga ku bisa menerima dia apa adanya
Mampu mencintainya smpai di penghujung hayatku.
Jika kita memang tak bisa bersama, semoga hubungan silaturahim kita akan tetap terjaga.
Kini kaupun telah pergi, hingga hatikupun terasa mati, entah pada siapa akan ku beri cinta ini kelak,.. tp ku bahagia akan mati rasaku ini,.karna aku telah terbebas dari belenggu cinta yang semu dan aku berdoa semoga ini adalah akhir dari kisah ini, dan semoga aku  memang benar-benar ikhlas untuk melepasmu dan semoga Allah menguatkan hati ini bila yg lain memilikimu. by Apriyanti Dian